PEMIMPIN MUSLIM, UJIAN AMANAH, DAN PELAJARAN DARI RIAU HINGGA NEW YORK
Oleh: Febri Rahmadhani
(Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PDM Kota Lubuklinggau)
Berita tentang ditetapkannya Abdul Wahid, Gubernur Riau, sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentu menjadi kabar yang menyedihkan bagi masyarakat Riau, khususnya umat Islam yang menaruh harapan besar terhadap kepemimpinan yang bersih dan berintegritas. Seorang pemimpin sejatinya adalah teladan bagi rakyatnya—ketika ia tersandung masalah hukum, citra keadilan dan kepercayaan publik ikut tercoreng. Namun di sisi lain, peristiwa ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa kekuasaan adalah amanah yang amat berat. Setiap keputusan yang diambil oleh seorang pemimpin tidak hanya akan dipertanggungjawabkan di hadapan rakyat, tetapi juga di hadapan Allah kelak.
Beberapa waktu sebelum penetapan tersangka itu, beredar pula video Ustadz Abdul Somad (UAS) yang menyinggung soal Gubernur Riau Abdul Wahid bukan Tersangka OTT, tetapi hanya dimintai keterangan oleh pihak KPK. Meskipun video UAS itu dianggap sebagai hal yang tidak wajar oleh banyak orang, karena terkesan melakukan pembelaan terhadap Abdul Wahid. Namun, kami mencermati ada pesan yang tak terucap oleh UAS untuk kita, yaitu pesan agar masyarakat tidak tergesa-gesa berprasangka buruk sebelum ada kejelasan hukum. UAS sedang menegaskan bahwa seorang pemimpin memang harus siap diperiksa dan diuji, karena jabatan publik menuntut transparansi dan tanggung jawab moral. Pesan UAS itu bukan untuk membela atau menyudutkan siapa pun, melainkan untuk menjaga suasana agar tetap kondusif. Di tengah derasnya arus informasi dan opini, beliau mengajak kita semua untuk lebih mengedepankan tabayyun daripada emosi.
Sementara itu, di belahan dunia lain, tepatnya di New York, Amerika Serikat, sejarah baru ditorehkan ketika Zohran Kwame Mamdani, seorang politisi muda keturunan Uganda–India yang juga seorang muslim, berhasil memenangkan pemilihan dan menjadi Walikota muslim pertama di Negara Bagian New York. Mamdani sebelumnya dikenal sebagai anggota Majelis Negara Bagian New York yang aktif memperjuangkan isu keadilan sosial, hak minoritas, dan kebijakan ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil. Kemenangan Mamdani bukan sekadar pencapaian politik, melainkan simbol keberagaman dan penerimaan nilai-nilai Islam di tengah masyarakat plural. Ia menjadi contoh bahwa integritas dan kerja keras dapat membuka jalan bagi umat Islam untuk tampil memimpin, bahkan di negara yang mayoritas penduduknya non-muslim. Ini sekaligus menjadi bukti bahwa Islam tidak menghalangi kemajuan, justru mengajarkan kejujuran, keadilan, dan kasih sayang dalam kepemimpinan.
Dari tiga peristiwa ini, kita mendapat pelajaran berharga. Bahwa jabatan adalah ujian, bukan kebanggaan; kekuasaan bisa menjadi ladang pahala, tetapi juga sumber dosa bila disalahgunakan. Seorang pemimpin muslim seharusnya meneladani Rasulullah ﷺ dalam hal kejujuran, kesederhanaan, dan amanah. Kita perlu belajar dari setiap ujian yang menimpa para tokoh, menjadikan kejatuhan sebagai muhasabah dan keberhasilan sebagai inspirasi. Dalam suasana yang penuh dinamika ini, saya hanya ingin mengingatkan: mari kita jaga hati, luruskan niat, dan terus berdoa agar Allah menghadirkan pemimpin yang adil, bersih, dan beriman. Karena dari merekalah masa depan umat dan bangsa ini bertumpu.










