Layar yang Melukai: Refleksi Hari Santri dan Pemberitaan Trans7
Oleh: Febri Rahmadhani
(Bendahara PCPM Lubuk Linggau Utara II)
Beberapa hari menjelang peringatan Hari Santri 2025, publik diguncang oleh tayangan bertajuk “Xpose Uncensored” di Trans7. Program yang seharusnya bersifat infotainment itu justru menyinggung kehidupan pesantren, bahkan menyeret nama besar KH Anwar Manshur, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.
Narasi dalam tayangan tersebut yang menggambarkan santri dengan cara merendahkan, disertai visualisasi tidak proporsional, memicu gelombang kekecewaan. Alih-alih memberikan edukasi, media justru menimbulkan luka sosial dan keagamaan. Ironisnya, hal ini terjadi tepat di saat bangsa bersiap memperingati Hari Santri Nasional 2025 dengan tema “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia.”
Tema ini sejatinya menegaskan bahwa santri bukan sekadar penjaga moral, melainkan pengawal peradaban. Namun, bagaimana mungkin bangsa bisa membangun peradaban jika media yang seharusnya menjadi alat pencerahan justru menampilkan wajah keislaman secara menyesatkan?
*Dari Layar ke Luka*
Dalam salah satu segmen tayangan itu, muncul narasi bernada sinis: “Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan pondok?”
Sebuah kalimat sederhana, tetapi memiliki implikasi besar: ia merendahkan tradisi yang sarat makna adab dan tawadhu’.
Adegan-adegan berikutnya, cium tangan kiai, santri jongkok, bahkan amplop, dibingkai secara provokatif dan seolah menjadi bahan ejekan. Publik non-pesantren mungkin tertawa, tetapi bagi kalangan santri, itu bukan lelucon: itu penghinaan terhadap warisan spiritual dan sosial yang telah menjadi jantung peradaban Islam Nusantara.
Protes pun meledak. Dari Kediri, Gresik, Lampung, hingga Jakarta, ratusan santri turun ke jalan. Petisi, laporan ke Polda, hingga desakan boikot Trans7 bergema di berbagai daerah. Trans7 memang telah mengakui kesalahan dan menyampaikan permintaan maaf. Namun, sebagaimana dikatakan alumni Lirboyo, “Permintaan maaf saja tidak cukup.” Karena yang dirusak bukan hanya reputasi pesantren, tetapi kepercayaan publik terhadap integritas media nasional.
*Kegagalan Etika dan Krisis Editorial*
Kasus ini menunjukkan dua hal: rendahnya sensitivitas keagamaan dalam redaksi televisi, dan gagalnya mekanisme kontrol etika penyiaran.
Trans7 menyebut bahwa program itu merupakan hasil produksi rumah produksi eksternal (production house). Namun, alasan itu tidak menghapus tanggung jawab moral dan hukum. Dalam sistem penyiaran, setiap konten yang tayang harus melewati seleksi etik dan verifikasi redaksional. Fakta bahwa tayangan ini bisa lolos menandakan lemahnya pengawasan internal.
Menurut Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), tayangan tersebut melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), terutama pasal yang mewajibkan penghormatan terhadap agama dan nilai kesusilaan. KPI pun memberikan sanksi penghentian sementara. Namun, publik menilai sanksi itu belum menyentuh akar masalah: budaya kerja media yang menomorsatukan sensasi dibanding substansi.
*Santri dalam Bayang-bayang Stereotip*
Ironi terbesar dari kasus ini adalah bahwa santri yang kini menjadi salah satu kekuatan sosial terbesar di Indonesia masih kerap disalahpahami.
Data Kementerian Agama 2025 menunjukkan ada lebih dari 39.000 pesantren aktif dengan jumlah santri mencapai 5,37 juta jiwa. Mereka bukan sekadar penjaga tradisi, melainkan kontributor nyata bagi pendidikan, ekonomi, dan sosial masyarakat.
Santri masa kini tak hanya menghafal kitab, tapi juga belajar teknologi, jurnalisme, dan kewirausahaan. Mereka ada di balik start-up islami, lembaga filantropi, dan komunitas literasi digital. Pesantren hari ini sedang menapaki cita-cita besar: menjadi bagian dari peradaban dunia, sesuai tema Hari Santri 2025.
Sayangnya, sebagian media masih terjebak dalam cara pandang lama: pesantren dilihat sebagai institusi eksotik, kuno, dan “lucu-lucuan”. Pandangan inilah yang membuat pemberitaan seperti Xpose Uncensored mudah tergelincir menjadi pelecehan.
*Mengawal Kemerdekaan Narasi*
Tema Hari Santri 2025 _Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia_ memiliki makna yang lebih luas dari sekadar seremonial. Mengawal kemerdekaan berarti menjaga kemerdekaan berpikir, berbicara, dan menafsirkan diri di ruang publik.
Dalam konteks ini, santri perlu menjadi pengawal kemerdekaan narasi keagamaan di tengah derasnya arus media. Santri tak bisa lagi sekadar menjadi objek pemberitaan; mereka harus menjadi subjek yang menulis, menafsirkan, dan mengontrol wacana tentang dirinya sendiri.
Sementara itu, media nasional harus belajar rendah hati. Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, berita bukan sekadar produk informasi, tetapi juga cermin peradaban. Kesalahan framing bisa melahirkan luka sosial yang panjang.
*Saatnya Dialog, Bukan Dendam*
Tentu, kita tidak menginginkan konflik berkepanjangan antara dunia pesantren dan media. Namun, penyelesaian tidak cukup dengan maaf di depan kamera.
Trans7 dan lembaga penyiaran lainnya perlu membuka forum dialog kebangsaan dengan pesantren, ormas Islam, dan tokoh masyarakat untuk membahas standar etika siaran keagamaan. Ini penting agar kasus serupa tidak terulang.
Di sisi lain, dunia pesantren juga perlu memperkuat literasi media dan produksi konten positif. Banyak pesantren yang kini mulai mengelola kanal YouTube, podcast, hingga media digital sendiri. Langkah ini perlu diperluas agar pesantren menjadi pelaku aktif dalam membentuk wajah peradaban digital.
*Media dan Santri: Dua Sayap Peradaban*
Media dan pesantren seharusnya bukan musuh, melainkan dua sayap peradaban. Media membawa informasi, pesantren membawa nilai. Keduanya, bila berjalan bersama, dapat mengantarkan Indonesia menuju cita-cita besar sebagaimana tema Hari Santri 2025: “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia.”
Namun jika media kehilangan etik, dan pesantren kehilangan partisipasi dalam ruang publik, maka kita akan menyaksikan peradaban yang pincang, modern tapi tanpa moral, bebas tapi tanpa arah.
*Saatnya Media Bertobat, Santri Bangkit*
Pemberitaan Trans7 menjadi pelajaran pahit bagi dunia penyiaran kita: bahwa kemerdekaan media tanpa tanggung jawab hanyalah bentuk lain dari penjajahan wacana.
Hari Santri tahun ini mengingatkan kita bahwa kemerdekaan sejati adalah ketika kebenaran, kehormatan, dan keadilan berjalan beriringan. Santri telah mengawal kemerdekaan bangsa dari penjajah; kini mereka harus mengawal kemerdekaan dari kebodohan narasi dan ketidakadilan media.
Saatnya media bertobat dan santri bangkit. Karena menjaga martabat pesantren sama artinya dengan mengawal peradaban bangsa.










